Semua ulama termasuk keempat madzhab utama, telah sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid, atau al-lubsu fil masjid (اللبس في المسجد) merupakan rukun i’tikaf.
Namun yang menjadi titik perbedaan pendapat adalah masalah durasi minimal, sehingga keberadaan di masjid itu sah berstatus i’tikaf.
1. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Madzhab Al-Hanafiyah menegaskan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sa’ah (ساعة), baik di siang hari atau malam hari.
Pengertian istilah sa’ah di dalam bahasa Arab modern bermakna satu jam atau 60 menit. Namun berbeda dengan istilah yang digunakan para ulama di masa lalu, yang pengertiannya adalah sesaat, sejenak atau sebentar.
Madzhab Al-Hanabilah relatif memiliki pendapat yang sama dengan madzhab Al-Hanafiyah dalam masalah durasi minimal.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Para ulama di dalam madzhab Al-Malikiyah agak sedikit berselisih tentang durasi minimal i’tikaf. Sebagian dari mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa putus.
Dan rangkaiannya dimulai dari sejak masuk waktu malam, yaitu terbenamnya matahari, terus melalui malam, lalu terbit matahari, pagi, siang, lalu sore dan berakhir i’tikaf itu ketika matahari kembali terbenam di ufuk Barat.
Dan sebagian lagi mengatakan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sehari tanpa malamnya.
Jadi sehari itu dimulai dari masuknya waktu shubuh, melewati pagi, siang, sore, lalu berakhir dengan masuknya waktu Marghrib kala matahari terbenam.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Madzhab Asy-syafi’iyah tidak memberikan batasan durasi minimal untuk beri’tikaf. Asalkan seseorang telah berada di dalam masjid, walaupun tidak harus dalam posisi berdiam di satu titik, misalnya berjalan kesana-kemari, sudah termasuk beri’tikaf.
Namun bila orang sekedar berjalan melewati bagian dalam masjid, dan menjadikan masjid sebagai jalan tembus, tidak sah untuk diniatkan sebagai i’tikaf. Jadi minimal harus berhenti sejenak, walaupun tidak harus berdiam diri.
Namun madzhab ini menegaskan bila seseorang beri’tikaf sehari, maka hukumnya mandub. Sebab Rasulullah SAW tidak pernah melakukan i’tikaf kecuali minimal berdurasi sehari.
Sumber : Kajian Fiqih 30 Hari Ramadhan, Ahmad Sarwat, (Penerbit Rumah Fiqih Publishing - 2022 - Jakarta) hal. 375-376
Posting Komentar
Posting Komentar